Sabtu, 25 Oktober 2008

Berserah Diri


Suatu musibah telah menimpa seorang teman. Kendaraan yang ditumpanginya dalam suatu perjalanan piknik mengalami kecelakaan. Mobilnya ringsek berat. Istri dan kedua anaknya meninggal. Ia sendiri luka berat. Hari-hari setelah kecelakaan merupakan kesedihan berat baginya. Dan lelaki itu pun mempunyai kebiasaan baru: suka murung dan bergumam. ''Seandainya saya tak mengajak mereka bertamasya, barangkali mereka masih hidup,'' katanya seraya menarik nafas panjang seakan mau melepaskan beban derita itu. Dalam keadaan seperti itu, kesedihan yang berkepanjangan tentu tak ada gunanya dan tak akan menyelesaikan masalah. Sikap yang terbaik adalah berserah diri, tawakkal. Islam sendiri arti harfiahnya adalah pasrah. Dan tawakal adalah sikap pasrah pada setiap persoalan, dengan mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah.

Namun yang harus diingat dalam berserah diri ini, tawakal adalah batas akhir upaya. Bukan tawakal namanya bila seseorang belum mencoba dan berusaha. Dan sikap seperti inilah yang selalu dinasihatkan Nabi SAW kepada sahabatnya. Suatu kali, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Hibban, ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah SAW. ''Ya Rasulullah, saya melepaskan onta milik saya, kemudian setelah itu bolehkah saya bertawakal?'' tanyanya. ''Ikat dan tambatkan (ontamu) dulu,'' jawab beliau, ''lalu bertawakallah.'' Dengan kata lain, Nabi SAW melarang orang tadi bertawakal sebelum mengikatkan onta yang mau ditinggalkan. Kalau dibiarkan lepas, ada kemungkinan onta itu akan lari dan kemudian hilang.

Diriwayatkan oleh Said bin Musyayyab, sebagaimana dikutip Shekh Muhammad bin Abu Bakr dalam kitabnya al-Mawaidh al-'Usfuriyah, bahwa suatu hari Rasulullah bertandang ke rumah Ali bin Abi Thalib dan menanyakan kesehatan sahabat dan sekaligus menantunya itu. Ali pun menjawab, ''Aku berada dalam empat kesedihan: Di rumahku tak ada makanan selain air. Aku memikirkan anak-anakku. Aku memikirkan Allah dan hari kemudian. Dan aku memikirkan malaikat maut.'' Baginda Nabi Muhammad SAW pun menjelaskan, ''Ketahuilah wahai putra Abi Thalib, rezeki manusia itu di tanganNya. Sedangkan kesedihan itu tak bisa membawa mudlarat ataupun manfaat. Karena itu bertawakallah, niscaya engkau menjadi teman Allah.''

Kekawatiran


Bermacam kekhawatiran menyelimuti diri manusia, termasuk dalam membelanjakan harta seperti telah diperintahkan Allah. Kekhawatiran ini berpangkal pada sejumlah keinginan untuk pemuasan material yang tampak, misalnya ingin membuat rumah mewah, beli mobil bagus, atau sekadar makan cukup.

Ada tips dari Alquran untuk menghilangkan segala kekhawatiran itu, yaitu beristiqamah (Q. S. 41: 30). Allah SWT pun berfirman: ''Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati'' (Q. S. 2: 274).

Dalam kitab Riyaadhush Shalihiin tersebut sebuah kisah dari Imam Bukhari, bahwa Abu Hurairah sering tidak makan. Untuk menahan laparnya, dia menekan perutnya ke tanah karena lapar atau mengganjal perutnya dengan batu. Suatu hari, Abu Hurairah duduk di jalanan. Mendadak Nabi SAW lewat dan tersenyum melihatnya. Lalu Rasulullah mengajaknya ikut. Sesampai di rumah, Rasul menemukan segelas susu. Beliau lalu bertanya kepada istrinya, ''Dari manakah susu ini?''

''Si Anu telah mengirimkan hadiah untukmu,'' jawab istrinya. Rasulullah menyuruh Abu Hurairah memanggil ahl shuffah (orang-orang yang tak berumah atau keluarga). Setiap mendapat sedekah, Nabi memang mengirimkannya langsung kepada mereka, tanpa mengambil sedikit pun. Tapi jika mendapat hadiah, sebagian dimakan dan sebagian lainnya diberikan kepada mereka.

Dalam hati kecilnya Abu Hurairah merasa berhak mendapat seteguk lebih dahulu, untuk mengembalikan kekuatan tubuhnya. Namun ia tak boleh membantah perintah Rasul. Dia pun pergi memanggil ahl shuffah itu. Dan Abu Hurairah disuruhnya membagikan susu itu kepada mereka.

Abu Hurairah memenuhi perintah Nabi, dan memberikan susu dalam gelas itu kepada orang pertama dari mereka, untuk diminum sampai puas. Demikian dilakukan kepada orang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya sampai semuanya minum puas, baru gelasnya dikembalikan kepada Nabi.

''Tinggal saya dan kau. Duduklah, minumlah,'' kata Nabi kepada Abu Hurairah yang menaati perintahnya. Dan Nabi selalu mengulangi, ''Minumlah!'' ''Demi Allah yang mengutus kau dengan haq, tidak ada lagi tempat dalam perutku,'' jawab Abu Hurairah. Kemudian Rasulullah meminta gelas itu. Sambil memuji syukur kepada Allah dan membaca Bismillah, ia meminum sisa susu itu.

Kisah di atas memberi pelajaran berharga bahwa kita tak boleh khawatir dengan yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya. Kita diajari untuk tidak hanya mengandalkan hitungan matematik, tapi juga ketakwaan.